Jumat, 20 Juni 2008

Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan pada Bapak Drs. Darsana Setiawan, saya bersyukur bisa berjumpa dan berkesempatan dapat belajar dengan Bapak. Meskipun hanya satu semester belajar dengan Bapak banyak pelajaran yang dapat saya petik, terutama tentang cara memahami psikologi anak dalam mengajar yang Insya Allah akan saya sampaikan pada anak murid saya jika sudah menjadi seorang pengajar nanti. Empat semester sudah saya kuliah di UIN, saat ini Bapaklah dosen favorit saya. Cara Bapak mengajar di kelas menghadirkan suasana yang kondusif dan terkontrol, nyaman, banyak hal yang Bapak sampaikan tentang segala hal cara Bapak mengaitkannya dengan mata kuliah. Harapan saya semoga Bapat dapat mengajar dan bertemu lagi di kelas untuk semester selanjutnya. Sekali lagi hanya ucapan terimakasih dan do'a saya panjatkan, semoga bapak selalu diberikan kesehatan.


_Ahmad Fauzie_

Rabu, 30 April 2008

Motif dan Motivasi

TUGAS 2
A. Instrumen wawancara/daftar pertanyaan
1. Motif dan Motivasi Siswa dalam Belajar
- Mengetahui apa pengertian motif dan motivasi itu sendiri.
- Dengan cara apa memberikan motivasi pada siswa untuk giat dalam belajar?
- Motif yang paling mudah memberikan pengajaran?
- Solusi bagi siswa yang tidak ada motivasi dalam belajar?
- Membangkitkan motivasi pada siswa yang stress dan frustasi?

2. Potensi Bawaan Siswa
- Apa perbedaan antara bakat dengan potensi?
- Setiap orang memiliki potensi, darimana segi apa hal itu dijelaskan?
- Lalu apa bedanya dengan talenta?
- Apa beda kepercayaan dan keyakinan?
- Tidakkah menutup kemungkinan anak kembar punya potensi dan bakat yang sama?

3. Pengaruh Lingkungan Belajar Siswa
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.
Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.
- Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, jelaskan?
- Lingkungan membuat dan membentuk individu sebagai makhluk sosial, jelaskan?
- Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu?
- Manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya, bagaimana lingkungan memiliki peranan bagi individu?
- Seperti apa pengaruh lingkungngan yang beraneka ragam?

4. Keunikan Pribadi Siswa
- Mengapa ada orang yang doyan bekerja, tapi ada juga yang malas bukan main? Ada orang yang berani mengambil resiko, tapi ada yang penakut?
- Dilihat dari sisi mana makhluk hidup yang bernama manusia mempunyai keunikan?
- Adakah manusia yang memiliki keunikan yang sama?
- Bagaimana dengan "orang bisu" dari mana keunikannya?
- Apalagi jika dihubungkan dengan orang yang tidak lagi waras, dari sisi mana keunikan itu?

B. Teori-Teori Belajar
1. Teori belajar Behaviorisme
Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.

Prinsip-prinsip teori behaviorisme

- Obyek psikologi adalah tingkah laku

- semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek

- mementingkan pembentukan kebiasaan

Aristoteles berpendapat bahwa pada watu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John Locke(1632-1704), salah satu tokoh empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai ”warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Idea dan pengetahuan adalah produk dari pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan disebabkan oleh perilaku masa lalu.

Kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme, memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan, dan menghindari penderitaan. Dalam utilitarianismem perilaku anusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan hedonisme dan utilitariansisme, maka itulah yang disebut dengan behaviorisme.

Asumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dala pembentukan perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan lingkungan yang relevan.

Thorndike dan Watson, kaum behaviorisme berpendirian: organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman dan prilaku digerakan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.

2. Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi

Psikologi kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan itu teori psikoloig kognitif memandang beljar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.

ntisari dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang berlangsung pada diri seseorang. Individu yang sedang belajar dipandang sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak sesuai dengan informasi yang baru diperoleh . Agar siswa mampu melakukan kegiatan belajar, maka ia harus melibatkan diri secara aktif.


Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Teori Pemrosesan Informasi

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

3. Teori Belajar Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

  1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
  2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
  3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
  4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
  5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
  6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
4. Teori Belajar Alternatif Konstruktivisme

Konstruktivism bukan merupakan satu teori yang baru dalam bidang pendidikan. Pengaruh konstruktivism dalam era teknologi maklumat dan komunikasi ini semakin kuat. Teori ini bertitik tolak daripada pandangan behaviorism yang mengkaji perubahan tingkahlaku sehingga kepada kognitivism yang mengkaji tentang cara manusia belajar dan memperoleh pengetahuan yang menekankan perwakilan mental.

Bruner (1960), telah menekankan bahawa pembelajaran merupakan satu proses di mana pelajar membina idea baru atau konsep berasaskan kepada pengetahuan semasa mereka. Pelajar memilih dan mengintepretasikan maklumat, membina hipotesis dan membuat keputusan yang melibatkan pemikiran mental (struktur kognitif seperti skema dan model mental) memberikan makna dan pembentukan pengalaman dan membolehkan individu “melangkau melebihi maklumat yang diberikan” (Beyond the information given). Hasil daripada pendekatan ini, beliau telah memperkenalkan pembelajaran penemuan (Discovery Learning).

Briner (1999) berpendapat murid membina pengetahuan mereka dengan menguji idea dan pendekatan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sedia ada, mengaplikasikannya kepada situasi baru dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan intelektual yang sedia wujud.

Brooks & Brooks (1993) menyatakan bahawa murid membina makna tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru kepada apa yang mereka telah fahami sebelum ini. Mereka membentuk peraturan melalui refleksi tentang interaksi mereka dengan objek dan idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, idea atau perkaitan yang tidak bermakna kepada mereka, maka mereka akan sama ada mengintepretasikan apa yang mereka lihat supaya secocok dengan peraturan yang mereka telah bentuk atau mereka akan menyesuaikan peraturan mereka agar dapat menerangkan maklumat baru ini dengan lebih baik. Menurut Mc Brien dan Brandt (1997), konstruktivism adalah satu pendekatan pengajaran berdasarkan kepada penyelidikan tentang bagaimana manusia belajar. Kebanyakan penyelidik berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan daripada orang lain.

Pengetahuan dibina secara aktif oleh individu yang berfikir berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sedia ada. Dalam proses ini, pelajar akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan sedia ada untuk membina pengetahuan baru dalam mindanya (PPK, 2001:9). Secara ringkasnya, teori pembelajaran konstruktrivism adalah satu fahaman bahawa pengetahuan, idea atau konsep yang baru dibina secara aktif berdasarkan kepada pengalaman lepas dan pengetahuan sedia ada dengan maklumat, idea atau konsep yang diterima sama ada bantuan kendiri, interaksi sosial atau persekitaran diselaraskan melalui proses metakognitif . Rajah 1 menunjukkan gambaran pengertian konstruktivism secara ringkasnya.

Rajah 2 menunjukkan sebuah peta minda tentang pengertian konstruktivism secara kesluruhannya iaitu dari segi implikasinya ke atas pengajaran dan pembelajaran , prinsip-prinsip dan peranan guru dan pelajar .


Senin, 21 April 2008

Perkembangan Individu


1. Sigmund Freud Tentang Dorongan Seksual
Freud menjelaskan, pada anak usia kira-kira 3 tahun (fase falis), anak mulai menemukan alat kelaminnya sebagai erogen terpenting dari tubuhnya, pada masa tersebut anak mulai menemukan kenikmatan dengan bermain-main alat kelaminnya. Pada masa ini tidak tidak dapat disebut sebagai aktivitas seksual, karena organ-organ seksual belum berfungsi secara maksimal (sampai fase genital). Pada fase tersebut anak akan sering memegang-megang alat kelaminnya, selain rasa ingin tahu akan organ-organ tubuhnya kadang juga disebabkan sensasi yang ia rasakan aneh baginya, misalnya pada anak laki-laki yang mengalami ereksi (tanpa sebab yang ia ketahui) ketika bangun di pagi hari.

Berbeda bila perilaku merangsang organ genital secara sengaja untuk mencari kenikmatan pada usia remaja, perilaku ini dapat disebutkan sebagai aktivitas seksual; masturbasi, merancap atau sering juga disebut dengan onani. Pada usia remaja, pertumbuhan dan perkembangan organ seksual semakin matang dan mulai berfungsi dengan baik. Organ-organ seksual mulai mengenal sensasi-sensasi birahi. Remaja pada awalnya melakukan masturbasi akibat rangsangan fantasi seksual yang secara terus menerus. Mereka melakukannya dapat dengan bantal guling

Masyarakat pada umumnya menolak masturbasi sebagai kebiasaan yang dapat diterima atau dianggap lumrah walaupun beberapa ahli dibidangnya berkesimpulan masturbasi tidak berbahaya secara medis ataupun mental. Oleh sebabnya, beberapa masyarakat tetap menolaknya disebabkan ajaran agama melarang perbuatan tersebut kecuali bagi mereka yang sudah menikah. Banyak pasangan menikah pun masih melakukan masturbasi sebagai salah satu menu yang berbeda.

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan yang semakin pesat, di dalam masyarakat mulai terjadi pergeseran-pergeseran moral, ide-ide baru bermunculan untuk membenarkan tindakan masturbasi pada individu-individu yang belum menikah. Opini publik ini semakin menguat dengan alasan yang beragam, misalnya saja orang membolehkan remaja atau bahkan individu dewasa melakukan masturbasi dibandingkan terlibat freesex atau bahkan dengan penekanan; boleh melakukan masturbasi asal jangan terlalu sering dan berbagai ragam alasan lainnya.

Seiring semakin majunya peradaban teknologi, berbagai alat untuk membantu mencapai orgasme (kepuasan seksual) pun telah diciptakan, sebut saja vibrator, dildo, vaginator dan sebagainya. Alat-alat ini dijual ditempat-tempat tertentu untuk membantu aktivitas seksual. Pada awalnya alat-alat tersebut diperuntukan untuk membantu bagi mereka yang mengalami permasalahan seksual untuk mencapai orgasme, namun penggunaan alat tersebut dibeberapa negara semakin meluas di dalam masyarakat.
Dampak dari masturbasi
Terlepas dari beberapa polemik, walaupun beberapa ahli mengatakan bahwa masturbasi tidak berdampak apapun, beberapa hal perlu Anda ketahui untuk itu:

1) Masturbasi dapat menimbulkan perasaan bersalah, berdosa bagi pelakunya, akibatnya individu dihantui perasaan bersalah, kotor atau berdosa dalam memandang dirinya. Beberapa agama (Islam) melarang perbuatan tersebut karena dapat mempengaruhi mental dan akhlaknya di kemudian hari

2) Self Control. Masturbasi biasanya dilakukan karena adanya rangsangan-rangsangan dari luar terlebih dahulu (stimuli) bukan bersifat instinktif. Artinya semakin bagus kontrol terhadap diri dan perilakunya maka individu yang mempunyai self control yang baik akan menjauhi perbuatan tersebut. Individu mampu melakukan represi terhadap stimuli tersebut tanpa harus melakukan masturbasi ketika dorongan-dorongan seksualnya semakin tinggi

3) Biasanya pelaku masturbasi, terutama pada pria akan mengalami krisis kepercayaan diri (self confidence). Masturbasi biasanya dilakukan "terpaksa". Dimana pria akan berusaha memacu orgasmenya untuk mencapai kepuasan, akibatnya akan muncul perasaan akan takut gagal berhubungan intim yang diakibatkan terlalu cepat keluar, perasaan takut tidak dapat memuaskan istrinya.

4) Beberapa pasangan yang sudah menikah, masturbasi hanya menjadi selingan yang tidak bisa dipaksakan pada pasangan cintanya. Beberapa orang mengatakan bahwa masturbasi mempunyai sensasi yang lebih dibandingkan berhubungan seks ini dapat mengakibatkan masturbasi kompulsif. Masturbasi juga tidak boleh dijadikan sebagai acara menu tetap pengganti bersenggama pada pasangan yang sudah menikah

5) Masturbasi yang terlalu sering dapat menjadi suatu obsesi dalam diri individu. Rangsangan seksual yang secara terus menurus dan membutuhkan pelampiasan dengan masturbasi, akibatnya menjadi kebiasaan yang buruk. Biasanya pada remaja sifat kreativitas menurun secara drastis.

6) Penggunaan alat bantu seks (sex toys) dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap seks. Alat seks adalah mesin ―yang berbeda dengan manusia, alat-alat tersebut dapat menimbulkan adiktif berlebihan karena sensasi yang diberikan berbeda dengan kemampuan pada manusia.

7) Beberapa alat bantu seks tersebut belum tentu cocok untuk ukuran bangsa tertentu, penggunaan secara berlebihan dan tidak tepat dapat menimbulkan luka atau infeksi pada alat kelamin.

8) Masturbasi secara tidak tepat dan tidak terkontrol dapat merusak selaput dara (keperawanan), pada pria dapat merusak atau memutuskan jaringan darah di phallus yang dapat mempengaruhi kekuatan ereksi yang semakin melemah.

9) Dalam beberapa kasus, penggunaan sex toys secara berlebihan dan intens juga dapat mengakibatkan pelebaran dinding vagina atau kapalan pada labium minora akibat luka yang secara terus menerus terjadi pada saat pemakaian. Di beberapa rumah sakit khusus bedah plastik, pelebaran labium minora dapat dilakukan pembedahan (operasi) dengan tujuan mempercantik bentuk vagina. Dalam ekonomi libido, unsur pertukaran terutama melibatkan tubuh dan seksualitas, anda sedang menghadapi “ledakan seksual” yang dasyat. Hampir semua bidang penanda komunikasi massa terseksualisasikan. Terutama mode, di dalamnya kecantikan berorientasi seksualitas yang melibatkan erotika, inilah artistik, untuk kecantikan yang bisa dijual.

2. Erik Erickson tentang Perkembangan psiko-sosial
Menurut Erik Erikson (1963) perkembangan psikososial terbagi menjadi beberapa tahap. Masing-masing tahap psikososial memiliki dua komponen, yaitu komponen yang baik (yang diharapkan) dan yang tidak baik (yang tidak diharapkan). Perkembangan pada fase selanjutnya tergantung pada pemecahan masalah pada tahap masa sebelumnya.
Adapun tahap-tahap perkembangan psikososial anak adalah sebagai berikut:
1. Percaya Vs Tidak percaya ( 0-1 tahun )
Komponen awal yang sangat penting untuk berkembang adalah rasa percaya. Membangun rasa percaya ini mendasari tahun pertama kehidupan. Begitu bayi lahir dan kontakl dengnan dunia luar maka ia mutlak terganting dengan orang lain. Rasa aman dan rasa percaya pada lingkungan merupakan kebutuhan. Alat yang digunakan bayi untuk berhubungan dengan dunia luar adalah mulut dan panca indera, sedangkan perantara yang tepat antara bayi dengan lingkungan dalah ibu. Hubungan ibu dan anak yang harmonis yaitu melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial, merupakan pengalaman dasar rasa percaya bagi anak. Apabila pada umur ini tidak tercapai rasa percaya dengan lingkungan maka dapat timbul berbagai masalah. Rasa tidak percaya ini timbul bila pengalaman untukmeningkatkan rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara adekwat, yaitu kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik., psikologis dan sosial yang kurang misalnya: anak tidak mendapat minuman atau air susu yang edukat ketika ia lapar, tidak mendapat respon ketika ia menggigit dot botol dan sebagainya.
2. Otonomi Vs Rasa Malu dan Ragu ( 1-3 tahun )
Pada masa ini alat gerak dan rasa telah matang dan ada rasa percaya terhadap ibu dan lingkungan. Perkembangan Otonomi selama periode balita berfokus pada peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol tubuhnya, dirinya dan lingkungannya. Anak menyadari ia dapat menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai dengan kemauannya misalnya: kepuasan untuk berjalan atau memanjat. Selain itu anak menggunakan kemampuan mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa Otonomi diri ini perku dikembangkan karena penting untik terbentuknya rasa percaya diri dan harga diri di kemudian hari. Hubungan dengan orang lain bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri.
Peran lingkungan pada usia ini adalah memberikan support dan memberi keyakinan yang jelas. Perasaan negatif yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak merasa tidak mampu mengatasi tindakan yang di pilihnya serta kurangnya support dari orangtua dan lingkungannya, misalnya orangtua terlalu mengontrol anak.
3. Inisiatif Vs Rasa Bersalah ( 3-6 tahun )
Pada tahap ini anak belajar mengendalikan diri dan memanipulasi lingkungan. Rasa inisiatif mulai menguasai anak. Anak mulai menuntut untuk melakukan tugas tertentu. Anak mulai diikut sertakan sebagai individu misalnya turut serta merapihkan tempat tidur atau membantu orangtua di dapur. Anak mulai memperluas ruang lingkup pergaulannya misalnya menjadi aktif diluar rumah, kemampuan berbahasa semakin meningkat. Hubungan dengan teman sebaya dan saudara sekandung untuk menang sendiri.
Peran ayah sudah mulai berjalan pada fase ini dan hubungan segitiga antara Ayah-Ibu-Anak sangat penting untuk membina kemantapan idantitas diri. Orangtua dapat melatih anak untuk menguntegrasikan peran-peran sosial dan tanggungjawab sosial. Pada tahap ini kadang-kadang anak tidak dapat mencapai tujuannya atau kegiatannya karena keterbatasannya, tetapi bila tuntutan lingkungan misalnya dari orangtua atau orang lain terlalu tinggi atau berlebihan maka dapat mengakibatkan anak merasa aktifitasnya atau imajinasinya buruk, akhirnya timbul rasa kecewa dan rasa bersalah.
4. Industri Vs Inferioritas ( 6-12 tahun )
Pada tahap ini anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang akhirnya dan dapat menghasilkan sesuatu. Anak siap untuk meninggalkan rumah atau orangtua dalam waktu terbatas yaitu untuk sekolah. Melalui proses pendidikan ini anak belajar untuk bersaing (sifat kompetetif), juga sifat kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan-peraturan yang berlaku.
Kunci proses sosialisasi pada tahap ini adalah guru dan teman sebaya. Dalam hal ini peranan guru sangat sentral. Identifikasi bukan terjadi pada orangtua atau pada orang lain, misalnya sangat menyukai gurunya dan patuh sekali pada gurunya dibandingkan pada orangtuanya. Apabila anak tidak dapat memenuhi keinginan sesuai standart dan terlalu banyak yang diharapkan dari mereka maka dapat timbul masalah atau gangguan.
5. Identitas Vs Difusi Peran ( 12-18 tahun )
Pada tahap ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa. sehingga nampak adanya kontradiksi bahwa dilain pihak ia dianggap dewasa tetapi disisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan, Peran orangtua sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun. Sedangkan peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Teman sebaya di pandang sebagai teman senasib, patner dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini remaja bereksperimen dengan peranan dan dapat menyalurkan diri. Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis

3. Jean Piaget Tentang Perkembangan Kognitif


Jean Piaget mendapati kemampuan mental manusia muncul di tahap tertentu dalam proses perkembangan yang dilalui. Menurut beliau lagi, perubahan daripada satu peringkat ke satu peringkat seterusnya hanya akan berlaku apabila kanak-kanak mencapai tahap kematangan yang sesuai dan terdedah kepada pengalaman yang relevan. Tanpa pengalaman-pengalaman tersebut, kanak-kanak dianggap tidak mampu mencapai tahap perkembangan kognitif yang tinggi.Oleh yang demikian, beliau telah membahagikan perkembangan kognitif kepada empat tahap yang mengikut turutan umur. Tahap-tahap perkembangan tersebut ialah :
Tahap Sensorimotor @ deria motor (dari lahir hingga 2 tahun)
Tahap Praoperasi ( 2 hingga 7 tahun)
Tahap Operasi Konkrit (7 hingga 12 tahun)
Tahap Operasi Formal (12 tahun hingga dewasa)

Dari kacamata Psikologi Kognitif

Melalui kacamata psikologi kognitif, jelas menunjukkan yang manusia mempunyai kebolehan berfikir di pelbagai peringkat kognitif, bergantung kepada kebolehan individu dan bentuk tugasan pemikiran/berfikir yang sedang dilakukan. Sesetengah penyelidik telah menggunakan model psikologi kognitif untuk membahagikan proses berfikir kepada sekurang-kurangnya dua peringkat: iaitu peringkat permukaan (surface level) yang berkaitan dengan ingatan segera (immediate recall) dan pengulangan maklumat fakta; dan peringkat kognitif mendalam (deep cognitive level) yang melibatkan sintesis dan analisis pelbagai sumber maklumat untuk menginterpretasi maklumat, menyelesaikan masalah yang sukar, dan membina sesuatu yang menarik dan baru. Dalam satu kajian yang dijalankan ke atas gaya berfikir pelajar dan kaitannya dengan prestasi mereka dalam ujian kemasukan SAT (Scholastic Aptitude Test) dalam tahun 1994, mendapati bahawa kumpulan yang mendapat skor tertinggi dalam ujian SAT lebih banyak menggunakan strategi pemikiran superficial, bergantung kepada pendekatan permukaan dan pencapaian dibandingkan dengan pelajar yang mendapat skor rendah dan sederhana. Pelajar yang mendapat skor rendah menggunakan pendekatan mendalam lebih kerap dalam ujian SAT. Kebergantungan pelajar mempunyai skor tinggi kepada pemikiran permukaan adalah disebabkan sistem Amerika yang menekankan gaya pembelajaran seperti itu. Oleh itu, ini tidak bermakna pelajar yang mendapat skor rendah adalah rendah darisegi kebolehan pemikiran mereka, tetapi mungkin disebabkan mereka tidak begitu diindoktrinasi dengan gaya berfikir mekanistik yang ditekankan dan yang diberi ganjaran oleh sistem pendidikan. Kajian yang dilakukan oleh Eric Anderman dari University of Michigan (2001) terhadap skor pelajar sekolah menengah dalam peperiksaan tara bacaan dan kaitannya dengan gaya berfikir pelajar mendapati bahawa pelajar perempuan lebih focus pembelajaran mereka dan lebih kerap menggunakan strategi pemikiran mendalam dibandingkan dengan pelajar lelaki yang lebih kerap menggunakan tahap pemikiran permukaan. Anderman membahagikan kedua-dua strategi pemikiran kepada dua kategori iaitu “Young Scholar” yang lebih berfokus pembelajaran mereka dan kerap menggunakan tahap strategi pemprosesan kognitif mendalam termasuk membuat refleksi terhadap pemahaman mereka tentang sesuatu bahan pelajaran dan sering memikirkan tentang hubungan idea baru dengan idea yang lama atau yang sedia ada. Kategori kedua pula dipanggial “Top Gun” yang lebih memfokuskan kebolehan dan menggunakan tahap pemikiran permukaan seperti sering hendak cepat menyediakan tugasan, mudah mengalah dan menulis jawapan yang pertama muncul difikiran. Dapatan Anderman menunjukkan bahawa dari segi pencapaian dalam peperiksaan tara menunjukkan kumpulan “Top Gun” adalah lebih baik daripada kumpulan “Young Scholar” . Seterusnya Anderman menyimpulkan, “…these data suggest that there may indeed be a mismatch between the purposes of standardized testing in literacy skills, and students’ emotional/motivational orientations toward reading and writing activities” (ms. 210 dalam Sacks, 2001) Dari sudut teori pelbagai kecerdasan yang dikemukakan oleh Howard Gardner pula, banyak diperkatakan yang kebanyakan ujian tara dan ujian aptitud hanya menyentuh satu daripada pelbagai bentuk keceerdasan terutamanya kecerdasan jenis logic-analitik atau kebolehan menyelesai masalah abstrak dan tidak langsung menyentuh lain-lain jenis kecerdasan. Adakah minda kanak-kanak lelaki dan kanak-kanak perempuan berbeza? Dari sudut kajian berkaitan otak, ramai penyelidik mengemukakan pandangan yang pada dasarnya kanak-kanak lelaki dan kanak-kanak perempuan adalah berbeza dari segi perkembangan dan struktur otaknya. Dalam banyak hal, dari segi kronologi perkembangan, otak kanak-kanak perempuan lebih cepat matang daripada kanak-kanak lelaki. Ini menunjukkan pada umumnya, otak kanak-kanak perempuan lebih cepat berkembang daripada otak kanak-kanak lelaki. Misalnya kanak-kanak perempuan dapat menguasai kemahiran lisan yang kompleks setahun lebih awal daripada kanak-kanak lelaki. Ini menunjukkan yang kanak-kanak perempuan mempunyai kebolehan lisan yang lebih baik dan bergantung banyak kepada komunikasi lisan. Kanak-kanak lelaki lebih banyak bergantung kepada komunikasi bukan lisan. Ini memberi kesan yang kuat kepada budaya kita sekarang yang banyak bergantung kepada percakapan, perbualan dan perkataan. Kita dilatih dengan baik dalam mendengar daripada memerhati tanda-tanda atau petunjuk secara senyap yang menyebabkan komunikasi dengan kanak-kanak lelaki sukar. Bagi kanak-kanak lelaki pula, perkembangan di bahagian-bahagian tertentu di bahagian kanan hemisfera otak menyediakan mereka dengan kebolehan spatial yang lebih baik seperti mengukur, rekabentuk mekanikal, georgrafi dan bacaan peta. Kanak-kanak lelaki mempunyai kognitif spatial yang lebih baik dalam otak mereka. Pada umumnya, kanak-kanak lelaki lebih menggunakan otak kanak dan kanak-kanak perempuan lebih menggunakan otak kiri. Namun begitu, dalam proses berfikir, kanak-kanak perempuan lebih mudah beralih dari otak kanan ke kiri dan sebaliknya dalam tugasan berfikir.

4. Lawrence Kohlberg Tentang Perkembangan Moral
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
Tahapan-tahapan
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini.Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience).

5. Zunker Tentang Perkembangan Karier
Perkembangan karier sangat erat kaitannya dengan pekerjaan seseorang. Keberhasilan seseorang dalam suatu pekerjaan bukanlah sesuatu yang diperoleh secara tiba-tiba atau secara kebetulan, namun merupakan suatu proses panjang dari tahapan perkembangan karier yang dilalui sepanjang hayatnya, mulai dari usaha memperoleh kesadaran karier, eksplorasi karier, persiapan karier hingga sampai pada penempatan kariernya.
Tylor & Walsh (1979) menyebutkan bahwa kematangan karier individu diperoleh manakala ada kesesuaian antara perilaku karier dengan perilaku yang diharapkan pada umur tertentu. Adapun yang dimaksud dengan perilaku karier yaitu segenap perilaku yang ditampilkan individu dalam usaha menyiapkan masa depan untuk memperoleh kematangan kariernya.
Selanjutnya, berkenaan dengan tahapan perkembangan karier, Zunker (Popon Sy. Arifin,1983) mengemukakan lima tahapan perkembangan karier individu, sebagaimana tampak dalam tabel berikut
Tahap
Ciri-Ciri
Usia
Growth
Development of capacity, attitudes, interest, and needs associated with self concept
(birth -14 or 15)
Exploratory
Tentative phase in which choices are narrowed but not finalized
(15 – 24)
Establishment
Trial and stabilization trhough work experiences
(25 – 44)
Maintenance
A continual adjustment process to improve working position and situation
(45 – 64)
Decline
Preretirement consideration, work out put, and eventual retirement.
(65 - …)

Zunker memodifikasi teorinya setelah beberapa studi menyangkal pendiriannya bahwa perbedaan interaksi orang tua-anak menghasilkan perbedaan dalam pemilihan pekerjaan. Kini dia mengambil posisi bahwa orientasi dini seorang individu terkait dengan keputusan utama yang diambilnya di kemudian hari — terutama dalam pemilihan okupasi — tetapi variable-variabel lain yang tidak diperhitungkan dalam teorinya pun merupakan faktor-faktor yang penting. Pernyataan-pernyataan berikut oleh Roe (1972) mengekspresikan pandangan pribadinya tentang perkembangan karir.

1. Riwayat kehidupan setiap laki-laki dan banyak perempuan, tentang atau seputar kisah pekerjaannya, dapat memberikan penjelasan tentang esensi orang tersebut secara lebih lengkap daripada menggunakan pendekatan lain.

2. Situasi yang relevan dengan riwayat ini dimulai dengan kelahiran individu itu ke dalam sebuah keluarga tertentu pada tempat dan waktu tertentu, dan berlanjut sepanjang hidupnya.

3. Mungkin faktor yang berbeda mempunyai bobot yang berbeda pula, tetapi pada esensinya proses keputusan dan perilaku vokasionalnya tidak berbeda.

4. Sejauh mana keputusan dan perilaku vokasional berada dalam control sadar individu itu bervariasi, tetapi individu dapat mempunyai lebih banyak control daripada yang dapat disadarinya. Pertimbangan yang sengaja tentang faktor-faktor tersebut jarang dilakukan.

5. Kehidupan okupasional mempengaruhi semua aspek lain dari pola kehidupan.

6. Pekerjaan yang tepat dan memuaskan dapat merupakan pencegah terhadap penyakit neurotic atau merupakan tempat pelarian dari kondisi tersebut. Pekerjaan yang tidak tepat atau tidak memuaskan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang parah.

7. Karena kebaikan hidup dalam suatu kelompok social tergantung pada dan juga menentukan kebaikan kehidupan setiap anggotanya, maka upaya suatu masyarakat untuk mempertahankan stabilitas dan kemajuan kea arah yang lebih baik mungkin dapat dicapai secara lebih baik dengan mengembangkan situasi vokasional yang memuaskan bagi para anggotanya daripada dengan cara lain. Tetapi ini tidak akan banyak berarti jika pekerjaan itu tidak diintegrasikan secara memadai ke dalam pola kehidupan secara menyeluruh.

8. Tidak ada suatu lowongan pekerjaan tertentu yang hanya cocok bagi satu individu tertentu saja. Demikian pula, tidak ada satu individu yang hanya cocok untuk satu pekerjaan tertentu saja. Dalam setiap pekerjaan terdapat banyak variabel yang menuntut persyaratan-persyaratan yang bervariasi pula.

6. Buhler Tentang Perkembangan Sosial

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:
1. Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas
Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gegasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana.Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, : (1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan; (1) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan timbal balik). Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas.
Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah.
Selanjutnya penelitian lintas budaya yang dilakukan di Turki, Israel, Kanada, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan Meksiko memberikan kesan kuat bahwa urutan tahap yang tetap dan tidak dapat dibalik itu juga bersifat universal, yakni berlaku untuk semua orang dalam periode historis atau kebudayaan apa pun.
Menurut Kohlberg penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak setiap individu akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas saja, yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan angka inipun masih diragukan kemudian. Diakuinya pula bahwa untuk sementara waktu orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebut sebagai “regresi fungsional".

7.Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:
1. Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas
Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gegasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana.Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, : (1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan; (1) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan timbal balik). Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas.
Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah.
Selanjutnya penelitian lintas budaya yang dilakukan di Turki, Israel, Kanada, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan Meksiko memberikan kesan kuat bahwa urutan tahap yang tetap dan tidak dapat dibalik itu juga bersifat universal, yakni berlaku untuk semua orang dalam periode historis atau kebudayaan apa pun.
Menurut Kohlberg penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak setiap individu akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas saja, yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan angka inipun masih diragukan kemudian. Diakuinya pula bahwa untuk sementara waktu orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebut sebagai “regresi fungsional”

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:
1. Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas
Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gegasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana.Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, : (1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan; (1) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan timbal balik). Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas.
Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah.
Selanjutnya penelitian lintas budaya yang dilakukan di Turki, Israel, Kanada, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan Meksiko memberikan kesan kuat bahwa urutan tahap yang tetap dan tidak dapat dibalik itu juga bersifat universal, yakni berlaku untuk semua orang dalam periode historis atau kebudayaan apa pun.
Menurut Kohlberg penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak setiap individu akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas saja, yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan angka inipun masih diragukan kemudian. Diakuinya pula bahwa untuk sementara waktu orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebut sebagai “regresi fungsional”

7. Havighurst Tentang Tugas-tugas Perkembangan Individu semenjak Bayi sampai dengan Dewasa

Setiap fase perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan tersebut merupakan pengharapan atas apa yang akan diakukan oleh seseorang pada masa perkembangannya. Tugas-tugas ini bersifat normatif, on time, dan diharapkan serta diantisipasi oleh individu.
Havighurst (Kimmel, 1995: 15) menawarkan suatu konsep tugas perkembangan yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap atau fungsi yang diharapkan dapat dicapai oleh individu pada setiap tahap perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang individu melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila seorang individu gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain, atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahapan yang lebih lanjut.
Dengan memahami tugas-tugas perkembangan remaja, maka kita sebagai seorang pendidik atau seorang dewasa yang terlibat dalam penanganan masalah remaja dapat memotivasi remaja dan menolong remaja memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Walaupun demikian, janganlah kita sebagai pendidik menempatkan posisi tugas perkembangan ini sebagai suatu paksaan kepada remaja. Segalanya kembali kepada individu tersebut, pada apakah ia telah menyelesaikan tugas-tugas perkembangan tahap sebelumnya dengan baik, dan pada hambatan-hambatan yang dialaminya saat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya yang sekarang. Apabila kita menganggap tugas-tugas perkembangan itu seperti PR yang harus diselesaikan tepat waktu, dan penuh tekanan. Biarlah sang remaja menyelesaikan sendiri tugas-tugas perkembangannya menurut caranya, sementara kita orang dewasa membantunya bila ia menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas perkembangannya.
Tugas-tugas perkembangan seorang remaja menurut Havighurst adalah sebagai berikut :
Mencapai suatu hubungan yang baru dan lebih matang antara lawan jenis yan seusia.
2. Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin.
3. Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif.
4. Mengharapakan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.
6. Mempersiapkan karir ekonomi.
7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan utnuk berperilkau dan mengembangkan ideologi.
Seorang remaja dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat dipisahkan ke dalam tiga tahap secara berurutan (Kimmel, 1995: 16). Tahap yang pertama adalah remaja awal, di mana tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya sebagai remaja adalah pada penerimaan terhadap keadaan fisik dirinya dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif. Hal ini karena remaja pada usia tersebut mengalami perubahan-perubahan fisik yang sangat drastis, seperti pertumbuhan tubuh yang meliputi tinggi badan, berat badan, panjang organ-organ tubuh, dan perubahan bentuk fisik seperti tumbuhnya rambut, payudara, panggul, dan sebagainya.
Tahapan yang kedua adalah remaja madya, di mana tugas perkembangan yang utama adalah mencapai kemandirian dan otonomi dari orang tua, terlibat dalam perluasan hubungan dengan kelompok baya dan mencapai kapasitas keintiman hubungan pertemanan; dan belajar menangani hubungan heteroseksual, pacaran dan masalah seksualitas.
Tahapan yang ketiga adalah remaja akhir, di mana tugas perkembangan utama bagi individu adalah mencapai kemandirian seperti yang dicapai pada remaja madya, namun berfokus pada persiapan diri untuk benar-benar terlepas dari orang tua, membentuk pribadi yang bertanggung jawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi yang di dalamnya juga meliputi penerimaan terhadap nilai dan sistem etik.
Demikianlah, penjelasan mengenai tugas-tugas perkembangan remaja sebagai satu bagian dalam memahami remaja sebagai suatu masa transisi. Diharapkan, pada saat ini kita telah sampai pada pemahaman bahwa sesungguhnya masa remaja adalah masa transisi yang menjembatani masa kanak-kanak yang tidak matang ke masa dewasa yang matang. Macam transisi yang berbeda akan membawa pengaruh yang berbeda pula bagi individu yang mengalaminya. Demikian pula dengan bagaimana cara kita melihat transisi tersebut akan mempengaruhi bagaimana kita dapat memahami apa yang dialami dan dirasakan oleh remaja. Selanjutnya, kita akan melihat perubahan dan perkembangan apa yang dialami oleh individu selama masa remajanya.

Jumat, 04 April 2008

Sillabus

SATUAN LAYANAN

BIMBINGAN DAN KONSELING

Tugas Perkembangan 3

Mencapai kematangan pertumbuhan jasmaniah yang sehat

Sekolah : SMA

Kelas/Semester : XI/1

Tahun : 2005/2006

A. Bahasan/

Topik/Permasalahan : Pengaruh kondisi tubuh yang sehat terhadap produktivitas kerja

B. Bidang Bimbingan : Karir

C. Jenis Layanan : Informasi

D. Fungsi Layanan : Pemahaman

E. Kompetensi yang ingin

Dicapai : Memiliki pemahaman yang mantap tentang pentingnya kondisi yang sehat dalam pengembangan karir

F. Uraian Kegiatan :

1. Strategi Penyajian : Klasikal (ceramah) dan kelompok (diskusi)

2. Materi : Pengaruh konsisi tubuh yang sehat terhadap produktivitas kerja

G. Tempat Penyelenggaraan : Ruang Kelas

H Alokasi Waktu : 1 X 45 menit

I. Pihak yang Disertakan/

Peran : Alumni

J. Alat dan Perlengkapan : OHP, papan tulis

K. Rencana Penilaian : Laiseg, laijapen, laijapang

Rencana Tindak Lanjut : Konsultasi individual bagi yang memerlukan bimbingan kelompok

L. Catatan Khusus :

……………………….2005

Kepala Sekolah Guru Pembimbing

NIP NIP

Sillabus SMA

SILABUS PELAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING BERBASIS KOMPETENSI (SMA)

Kelas : XI Semester : I dan II Tugas Perkembangan 3 : Mencapai kematangan pertumbuhan jasmani yang sehat

Bidang Bimbingan

Rumusan Kompetensi

Materi Pengembangan Kompetensi

Kegiatan Layanan

Kegiatan Pendukung

Penilaian

Keterangan

1

2

3

5

6

7

8

Karir

Memiliki pemahaman yang mantap tentang pentingnya kondisi yang sehat dalam pengembngan karir

Contoh-contoh pentingnya kondisi yang sehat dalam pengembngan karir

- Pengaruh kondisi tubuh yang sehat terhadap produktivitas kerja

- Contoh-contoh syarat kesehatan jasmani dalam pemilihan karir bidang militer

Orientasi

Informasi

Himpunan data

Laiseg

Laijapen

Laijapang

Bekerjasama dengan pihak yang relevan

Memiliki pemahaman yang mantap tentang pentingnya kondisi yang sehat dalam pengembngan karir

Contoh-contoh pentingnya kondisi yang sehat dalam pengembngan karir

- Peranan penampilan dalam pekerjaan sebagai pramugari

- Peranan penampilan dalam pekerjaan sebagai guru

- Peranan kondisi tubuh yang sehat dalam konsentrasi kerja

Orientasi

Informasi

Himpunan data

Laiseg

Laijapen

Laijapang

Bekerjasama dengan pihak yang relevan

Senin, 24 Maret 2008

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI REMAJA

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI REMAJA


Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.
Setiap tahap usia manusia pasti ada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui. Bila seseorang gagal melalui tugas perkembangan pada usia yang sebenarnya maka pada tahap perkembangan berikutnya akan terjadi masalah pada diri seseorang tersebut. Untuk mengenal kepribadian remaja perlu diketahui tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain:

Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif
Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu. Misalnya si Ani merasa kulitnya tidak putih seperti bintang film, maka Ani akan berusaha sekuat tenaga untuk memutihkan kulitnya. Perilaku Ani yang demikian tentu menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin Ani akan selalu menolak bila diajak ke pesta oleh temannya sehingga lama-kelamaan Ani tidak memiliki teman, dan sebagainya.

Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua
Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja Anda dalam kesulitan besar.

Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin
Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini. Ada sebagaian besar remaja yang tetap tidak berani bergaul dengan lawan jenisnya sampai akhir usia remaja. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakmatangan dalam tugas perkembangan remaja tersebut.

Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja ditanya mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut belum mengenal kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa remaja ini tentu saja akan menjadi masalah untuk tugas perkembangan selanjutnya (masa dewasa atau bahkan sampai tua sekalipun).

Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi seperti siapakah "aku" ?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak dorongan dalam dirinya.

Selain tugas-tugas perkembangan, kita juga harus mengenal ciri-ciri khusus pada remaja, antara lain:
- Pertumbuhan Fisik yang sangat Cepat
- Emosinya tidak stabil
- Perkembangan Seksual sangat menonjol
- Cara berfikirnya bersifat kausalitas (hukum sebab akibat)
- Terikat erat dengan kelompoknya

Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:

1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun
a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya:
- Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi
- Anak mulai bersikap kritis

b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:
- Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya
- Memperhatikan penampilan
- Sikapnya tidak menentu/plin-plan
- Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib

c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya:
- Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya
- Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria

2. Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun
Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah:
- Perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis
- Mulai menyadari akan realitas
- Sikapnya mulai jelas tentang hidup
- Mulai nampak bakat dan minatnya

Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya.


[sumber :www.iqeq.web.id]