Selasa, 11 Maret 2008

Tayangan Sinetron

Tayangan Sinetron Timbulkan Pengaruh Buruk bagi Remaja



Jakarta, Sinar Harapan
Tayangan televisi turut berperan dalam proses pembentukan nilai-nilai yang dianut remaja. Karena itu, banyaknya tayangan sinetron remaja yang mempertontonkan kekerasan, sadisme, kebencian dan gaya hidup konsumtif, dikhawatirkan akan menimbulkan pengaruh buruk pada kalangan remaja, yang sesuai tahapan perkembangan psikologi tengah membentuk nilai-nilai anutannya.
Demikian benang merah diskusi tentang sinetron remaja dan dampaknya terhadap perkembangan remaja yang dilangsungkan di Jakarta, Selasa (21/6). Dalam diskusi itu hadir antara lain Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta Margani Mustar, Ketua Lembaga Sensor Film Titie Said, sutradara Edy Riwanto, pengamat pendidikan Arief Rachman, dan Analis Media dari The Habibie Center Wenny Pahlemy.
Menurut Wenny Pahlemy, sinetron remaja kini menjadi program andalan stasiun televisi menyusul keberhasilan salah satu sinetron remaja meraih rating tinggi tahun 2001 lalu. Sinetron Bawang Merah Bawang Putih, misalnya, menempati peringkat tiga sinetron yang paling banyak ditonton periode 1 Januari sampai Mei 2005. Keberhasilan itu mendorong stasiun-stasiun televisi untuk menayangkan sinetron-sinetron remaja, tanpa memperhitungkan soal kualitas dan dampaknya. Banyak di antara sinetron-sinetron itu yang mengambil tema-tema negatif, misalnya kekerasan, sadisme, kebencian, permusuhan, dan gaya hidup konsumtif serta hedonis.
Ditilik dari segi kuantitas, produksi sinetron remaja juga meningkat cukup tajam. Di tahun 2004, jumlah produksi sinetron remaja adalah 3.883. Sementara, dari Januari hingga Mei 2005, jumlah produksi sinetron remaja sudah mencapai 2.011.

Tak Lolos Sensor
Sementara, Titie Said mengakui bahwa banyak sinetron yang tidak melalui sensor Lembaga Sensor Film (LSF) dengan alasan kejar tayang. Di sisi lain, sanksi yang ditentukan sesuai UU No 8/1992 untuk pelanggaran seperti itu dinilai terlalu ringan, yakni hukuman kurung maksimal satu tahun atau denda maksimal Rp 40 juta. “Yang namanya kejar tayang, itu bisa 20 menit sebelum ditayangkan, barangnya masih di jalan. Kapan LSF sempat mensensor?” katanya.
Selain itu, banyak juga sinetron yang menurut LSF dikategorikan sebagai tayangan untuk orang dewasa (yang harus ditayangkan setidaknya pukul 22.00 WIB), ternyata kemudian ditayangkan sebagai tontonan untuk anak atau remaja. Yang termasuk dalam kategori ini, antara lain adalah film kartun Sinchan dan sinetron Bawang Merah, Bawang Putih.
Menurut Titie, menghadapi pelanggaran-pelanggaran seperti itu, LSF tidak bisa berbuat banyak. Yang dilakukan LSF selama ini hanya mengirim surat teguran kepada pihak yang melanggar. Tindakan yang lebih tegas, lanjut Titie, seharusnya dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena komisi itulah yang memiliki wewenang.
Di sisi lain, Arief Rachman menilai upaya penyaringan tontonan tidak akan banyak berhasil bila pada diri si anak sejak dini tidak ditanamkan pengetahuan untuk menyaring informasi yang diterimanya. “Kalau sejak TK, SD anak itu sudah diberi pengetahuan mana yang baik dan mana yang tidak, pada usia remaja dengan sendirinya ia sudah bisa menyaring sendiri tontonan yang baik bagi dirinya,” ujar Arief. Dia menambahkan bahwa film yang baik adalah yang mampu membangkitkan potensi spiritual, emosional dan intelektual si anak. (rhu)




Ahmad Fauzie

106013000286

Tidak ada komentar: